watch sexy videos at nza-vids!

Cerita Gay Sextgem
Situs Cerita Cinta Sesama Pria



Cerita Gay
Sesama Pria

Aku dan Paman Arjo
Hari ini Paman Arjo akan kembali ke kampung. Aku dan Aris mengantarkan sampai stasiun. Bapak dan ibu tidak ikut mengantar karena hari Minggu ini kantor tempat mereka berdagang
mengadakan acara yang
membutuhkan konsumsi tambahan.
“Temani Paman ke wartel, ya Ro!?”
ajak Paman Arjo. Aku tinggalkan Aris
dan mengiringi langkah Paman Arjo.
Di sebuah tempat yang tidak terlihat
oleh Aris Paman Arjo menarikku
merapatkan tubuhku ke tubuhnya.
“Tetap diingat, ya ucapan Paman!
Jangan kamu apa-apakan Aris!”
desisnya sambil menatapiku dengan
redup. Aku hanya mengangguk.
Selama ini tidak terjadi apa-apa lagi
dengan Aris.
“Sebelum Paman pulang, ada yang
kamu inginkan?” tawar Pamanku.
Wajahku langsung memerah. Apakah
ini ajakan yang berikutnya? Pamanku
ingin diisap lagi kontolnya olehku! Aku
mengangguk ...
“Tapi kamu janji tidak melakukannya
pada Aris, ya? Nanti kalau kita bertemu
lagi Paman serahkan lagi kontol Paman
buat kamu!” pintanya. Mana mungkin
aku berjanji? Aku sudah pernah
mengocok kontol Aris sekali. Di
samping Paman Arjo persis!
“Saya takut pada Aris, Paman ...” ada
dusta dalam ucapanku. Aku takut
kalau Aris akan marah. Namun, aku
tidak takut melakukan apa yang telah
kulakukan pada Paman Arjo ke Aris!
Kalau Aris tidak menolak tentu saja ...
Kami menuju toilet stasiun. Masuk
bersamaan ke salah satu wc. Aku
langsung jongkok di depan Pamanku
yang sudah memelorotkan celananya.
Lagi-lagi tanpa sempak!
“Jangan lama-lama! Nanti Aris curiga ...
“ ingat Paman Arjo. Aku tak
menjawab ucapannya. Mulutku sudah
terisi penuh oleh kontolnya yang besar
panjang dan hitam kekar. Akan butuh
waktu lama lagi untukku bisa
menikmati kontol itu. Paman Arjo harus kembali ke kampung. Kontol Aris senikmat kontol bapaknya tidak ya?
Seandainya Aris juga bersifat seperti
bapaknya ...
Tujuh menit. Usai sudah.
Kereta Matarmaja akan segera
berangkat. Aris mencium tangan
bapaknya. Paman Arjo merangkul
anaknya itu. Sungguh berat melepas
anak satu-satunya hidup jauh dari
orang tua. Paman Arjo juga menarikku
ke dalam rangkulannya.
“Yang akur, ya!” pintanya sebelum
masuk ke dalam kereta.
Kereta meninggalkan stasiun ...
“Ro! Kok aku jadi sentimentil begini,
ya?” Aris menangis sambil memelukku.
Oh, my God! Aku harus menetralisir
nafsuku.
“Wajar, Ris! Justru aneh kalau kamu
tidak sedih berpisah dengan orang
tuamu!” hiburku.
“Kamu janji tidak nakal, ya?” katanya.
Air matanya sudah terhapus. Kupikir ia
bergurau.
“Ya, ampun memangnya aku anak
kecil ...”
“Kamu janji tidak menakaliku, ya!” Aris
mengulang ucapannya dengan
penekanan di akhir kalimat. Aku
paham maksudnya. Ya, aku janji pria
jantan!, kataku dalam hati. Lemas ...
kesempatan itu semakin tertutup ...
“Kita ke mall dulu, yuk!” ajak Aris. Ia
sering mendengar kata itu dan ingin
sekali berkunjung ke sana. Namun,
keinginannya belum terpenuhi sebab
aku sendiri tidak pernah keluar rumah.
Kebutuhan pakaianku sudah dipenuhi
bapak dan ibuku dengan
membelikannya di pasar. Lagi pula
kalau aku ke mall dengan siapa?
“Aku belum pernah ke mall ...” ucapku
sunguh-sungguh.
“Ya, sudah cuek saja! Kalau kita
tersasar kan berdua ini!” yakinnya.
Benar, Ris! Kesasar ke manapun aku
tidak keberatan asalkan selalu dengan
kamu.
Jadilah kami berdua menuju mall yang
tidak terlalu jauh dengan stasiun. Dua
orang yang belum pernah ke mall pun
berjalan beriringan. Yang satu memang
berasal dari kampung yang tidak ada
mall di sana. Yang satu lagi sekor
katak dalam tempurung ...
Meskipun agak canggung kami berdua
memasuki mall tersebut. Hmmm ...
sejuk sekali. Kami hanya berputar-
putar saja. Tidak ada niat untuk
berbelanja memang. Tiba-tiba seorang
satpam mendekati kami.
“Kalian berdua ikut saya!” ucapannya
yang tegas mengejutkan kami. Kami
saling berpandangan. Ada apa?
Kami diajak ke suatu tempat melewati
tangga darurat. Apa kami dianggap
pengutil? Kami tiba di tempat yang
dituju. Di sebuah ruangan ada seorang
laki-laki sebaya kakak iparku yang
sulung.
“Yang ini, Pak?” tanya satpam itu
sambil mendorong perlahan tubuh Aris
ke lelaki tersebut. Orang itu
mengangguk. Ia berdiri dan menuju
sebuah ruangan yang lebih kecil di
dalam ruangan yang kami masuki. Ia
mengajak Aris masuk.
Satpam yang membawa kami
menarikku ke ruangan yang lain. Aku
sempat takut dengan seragamnya
tetapi karena satpam itu tersenyum
manis padaku, rasa takutku hilang. Di
sebelah sepertinya Aris sedang
diinterogasi oleh pria tadi.
“Isep, ya?!” satpam itu sudah
menyodorkan kontolnya yang
setengah ngaceng. Hahhhh ...
“Tapi teman saya ...” kataku gagap.
Wahh, mimpi apa aku semalam? Ada
pria jantan yang menawarkan
kontolnya padaku. Memang tidak
sebesar kontol Paman Arjo, tetapi
tubuh satpam ini ramping kekar.
Perutnya terlihat lebih keras daripada
Paman Arjo.
“Teman kamu sudah diurus orang tadi!”
“Salah apa dia?” aku belum mengerti.
“Sama seperti kamu ...” satpam itu
tidak melanjutkan kata-katanya.
Tangannya menarik kepalaku ke
kontolnya. Aku tidak berontak. Aku
menginginkannya. Kudengar di ruangan
sebelah Aris sedang berbicara dengan
orang tadi. Membicarakan apa, ya?
Akh, nikmati ini saja dulu ...
“Terus... terus ... Isep yang lebih kuat!”
satpam itu memaju-mundurkan
pantatnya. Oh, sensasi yang baru kali
ini kualami. Kontol satpam itu betul-
betul mengentoti mulutku! Tidak
sekonvensional Paman Arjo...
Beberapa menit berlalu ...
“Toro! Kita kabur! Orang itu ternyata ...”
Aris! Ia sudah berdiri di ambang pintu
ruangan tempatku dientoti satpam.
Aku kaget. Kulepas kontol yang sudah
mengeras di mulutku. Pucat. Malu ...
Aris membalikkan badan. Ia berlari.
“Aris, tunggu!” aku berdiri dan
berupaya menyusul Aris. Satpam itu
mencoba mencegah, tetapi karena
celananya sudah ia pelorotkan dan
dengan kontol dalam keadaan ngaceng
ia tidak mengejarku. Saat aku keluar
ruangan, pria di sebelah sudah berdiri
di pintu sambil menaikkan risleting
celananya.
Aris tidak lagi berlari. Aku tertinggal di
belakang. Kami sudah kembali berada
di dalam sebuah counter pakaian
remaja. Tidak berhenti tetapi langsung
menuju ke luar.
“Aris! Tunggu, dong!” teriakku lagi
setelah berada di pinggir jalan. Ia
membalikkan badan. Menatapku penuh
kemarahan.
“Kamu ingin saya kembali saja ke
kampung?!” tanyanya menggugat.
“Aku juga menjadi korban, Ris! Kok,
kamu marah padaku ...”
“Kamu menikmatinya, kan?!”
tantangnya, “ ... kalau tidak,
bagaimana mungkin kamu sudah ada
di selangkangan satpam itu? Dasar
banci!” cacinya kasar.
Ya, Tuhan! Aku harus jawab apa? Apa
yang dikatakan Aris benar. Aku
menikmatinya. Aku banci!
Kami pulang.
Sebulan kami tidak saling berbicara. Di
kamar maupun di sekolah. Hanya di
depan ibu dan bapak kami menutupi
kerenggangan kami dengan berbicara
ala kadarnya. Mereka mungkin
menduga kalau kami butuh waktu
untuk bisa lebih akrab.
Aris! www.ceritagay.uiwap.com Jangan kamu siksa aku dengan
seperti ini! Tubuhmu tergolek seranjang
denganku tetapi engkau tidak
mengizinkan aku menikmatinya. Ketika
aku memperolehnya dari satpam yang
tidak kukenal itu mengapa engkau pun
tak memakluminya. Marahlah pada
satpam dan lelaki itu! Satpam itu yang
membawa kita ke ruangan itu. Aku
yakin lelaki yang sudah menunggu di
ruangan itu sangat menginginkan
dirimu. Salahku apa padamu, Ris?
Menikmati kontol ngaceng yang sangat
aku impi-impikan adalah sebuah
kesalahan?

www.ceritagay.uiwap.com

Home | Homo | Cerita Lucah | Gay stories
Cerita XXX

© 2011 - 2019 CeritaGay.SexTgem.Com
Koleksi cerita gay, Sesama pria